Refleksi Terakhir Perkuliahan Filsafat
Pendidikan Matematika
Refleksi ini merupakan refleksi
terakhir perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika pada tahun akademik
2012/2013. Dalam kesempatan ini, Prof. Dr. Marsigit, M.A. selaku dosen pengampu
mata kuliah ini menjelaskan mengenai presentasi internasional yang beliau
hadiri di Chiang Mei tahun 2010. Presentasi yang dibawa beliau ini berjudul
“The IceBerg Approach of Learning Pleasure in Junior High School: Teacher
Reflect”.
Ice berg approach atau biasa dikenal
dengan pendekatan gunung es merupakan analogi untuk gunung es dari realistik
matematis. Dalam ice berg approach, tingkatan dari yang paling dasar hingga
tertinggi adalah matematika konkret, model konkret, model formal, dan
matematika formal. Matematika konkret adalah yang dilihat oleh manusia dalam
kehidupan sehari-harinya. Setelah digambar dan difoto, matematika konkret
menjadi model konkret. Setelah sampai pada bentuk penjumlahan menyebabkan
menjadi bentuk formalnya. Di Indonesia tidak ada gunung es tetapi ada gunung berapi.
Setiap daerah berusaha agar harmonik dengan alam termasuk dengan gunung.
Sebagai contoh, Yogyakarta sangat berusaha agar harmoni dengan gunung Merapi.
Metafisik gunung Merapi yakni di balik gunung ada kekuasaan Tuhan.
Filsafat digunakan dalam setiap
aspek termasuk dalam pembelajaran matematika. Hermeunitika digunakan dalam
kehidupan sehari-hari karena hermeunitika adalah komunikasi yang lurus dan
berimbang. Lurus berarti tidak akan melakukan hal yang sama karena menembus
ruang dan waktu. Hal ini membutuhkan kesadaran. Setiap manusia memiliki
kesadaran yang berbeda karena tergantung ruang dan waktunya. Sama halnya dengan
beribadah yang juga merupakan tindakan yang menembus ruang dan waktu. Hermeunitika
berbentuk melingkar seperti yang di atas guru yang di bawah murid, yang di atas
para filusuf dan yang di bawah adalah kita, dan lain sebagainya. Hermeunitika
meliputi hal-hal yang ada dan yang mungkin ada. Hermeunitika binatang dan
tumbuhan juga terjadi ketika induk burung memberi makan anak-anaknya atau
ketika tumbuhan berhemeunitika terhadap sinar matahari. Hermeunitika merupakan
hal yang sangatlah penting bagi setiap apa yang ada dan mungkin ada. Hermeunitika
ada yang bersifat rutin dan mengembangkan diri yakni mengadakan yang mungkin
ada dan membisakan yang mungkin bisa seperti pengalaman, konsep, dan lain
sebagainya. Hermeunitika pun terjadi saat manusia hidup dan mati. Bahkan ketika
wafat, di dalam alam kubur pun, ada hermeunitika.
Sudah selayaknya, sebagai calon guru
matematika, mahasiswa harus menyadari bahwa dalam pembelajaran matematika di
sekolah kelak, matematika haruslah dekat dengan kehidupan siswa sehingga
terbentuklah intuisi siswa dalam matematika. Mahasiswa kelak diharapkan
mengajarkan matematika dengan didahului apersepsi agar siswa merasa siap
memelajari matematika. Kesiapan siswa dalam belajar matematika menyebabkan
siswa merasa bergembira belajar matematika. Agar intuisi berkembang, harus
didahului oleh kesadaran. Intuisi terbentuk semenjak manusia masih bayi. Ia
mampu mengenali banyak, sedikit, cantik, tidak cantik, enak, tidak enak, dan
lain-lain. Anak kecil pun sebenarnya telah mampu untuk memikirkan peluang. Lama
kelamaan, anak kecil akan berkembang menjadi apodikti. Belajar matematika dapat
melalui silaturahim. Contoh manusia kehilangan intuisi adalah saat manusia
menutup mata. Ia kehilangan intuisi ruang karena tidak dapat melihat ruang.
Namun, hal ini tidaklah mutlak karena manusia masih dapat mengingat dan
mengenali ruang dengan indra lain yang dimilikinya.
Namun pada praktiknya sekarang, kaum
absolutis masih menguasai pendidikan di sekolah. Pure mathematics yang
diajarkan di sekolah akan mematikan intuisi matematika siswa. Hal ini sangatlah
tidak bijak mengingat pure mathematics dan matematika sekolah sangatlah
berbeda. Apabila siswa diajarkan pure mathematics, siswa menjadi tidak
bernurani dan kehilangan intuisi. Siswa dapat melakukan tindakan-tindakan
kriminal dengan mudahnya karena telah kehilangan intuisi. Siswa tidak boleh
dipandang sebagai “empty vessel” atau suatu wadah kosong karena siswa bukanlah
objek pembelajaran yang harus selalu mendengarkan penjelasan dari guru. Siswa
bukan pula objek pembelajaran yang menunggu curahan transfer ilmu dari guru. Siswa
seharusnya difasilitasi agar aktif dalam kegiatan pembelajaran dan berbuah.
Guru janganlah menerapkan matematika formal tetapi hendaknya school
mathematics. Siswa memiliki berbagai macam metode untuk menyelesaikan soal
sehingga guru tidak boleh menyalahkan apabila cara yang digunakan siswa berbeda
dengan yang diajarkannya. Tugas kita sebagai mahasiswa yang merupakan calon
guru adalah merebut kembali hak-hak siswa yang telah hilang itu. Kita harus
menciptakan kegiatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan kembali intuisi siswa
dalam belajar matematika. Realistik matematika adalah yang paling cocok
digunakan dan diajarkan di sekolah. Guru dapat menerapkan berbagai macam metode
pembelajaran yang bertujuan untuk mengonstruksi pemahaman siswa. Sehingga
pengetahuan yang dimiliki siswa adalah hasil konstruksi dari pemahaman yang
diperolehnya sendiri secara langsung. Inilah yang akan menguatkan
pengetahuannya kelak.
Tak hanya itu, kita sebagai teacher
wanna be dituntut untuk selalu berpikir kritis dan kreatif, tidak menjadi
insan yang toleran karena toleran dalam dunia pendidikan diartikan sebagai
insan yang tidak mengerti apapun. Berpikir kritis dan fanatik sangatlah penting
dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari dan bernegara. Bila tidak
menjadi manusia yang kritis dan fanatik dan hanya selalu toleran, lama kelamaan
dunia akan menjadi dunia yang satu. Dunia yang satu mungkin merupakan gambaran
kehancuran dunia yang kita tempati ini.