Refleksi Filsafat Pendidikan Matematika
Menembus Ruang dan Waktu
Berfilsafat merupakan olah pikir;
baik olah pikir sendiri, oleh pikir bersama, olah pikir bangsa Indonesia, olah
pikir pikiran bangsa-bangsa di dunia, olah pikir memikirkan dunia akhirat dan
masih banyak oleh pikir yang mungkin dalam berfilsafat. Pertanyaannya sekarang
diperluas, mampukah kita memikirkan olah pikir – olah pikir tadi? Dalam berolah
pikir tadi diperlukan sumber. Sumbernya sendiri adalah pikiran – pikiran para
filsuf. Dalam berfilsafat tergantung
dari objeknya. Objek berfilsafat adalah apa yang ada dan mungkin ada. Namun
objek berfilsafat sendiri dapat dipersempit. Misalnya pada jaman Yunani Kuno,
orang berpikir mengenai segala sesuatu itu terbuat dari apa? Bumi terbuat dari
apa? Bulan terbuat dari apa? Tanah terbuat dari apa? Maka filsafatnya dinamakan
filsafat alam. Lain halnya jika objeknya tentang diri manusia maka filsafatnya
dinamakan filsafat manusia. Jika objeknya mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan spiritual, maka filsafatnya dinamakan filsafat spiritual, filsafat
teologi ataupun filsafat ketuhanan.
Secara profesional, selain berbicara mengenai objeknya, dalam
berfilsafat kita juga lebih rinci berbicara mengenai lokasi objek. Artinya
adalah dimana objek atau benda yang sedang kita pikirkan atau bicarakan. Maka
terbagilah menjadi dua macam, yakni yang ada di dalam pikiran dan yang ada di
luar pikiran. Apa yang dapat dilihat, didengar dan diraba itu adalah objek yang
ada di luar pikiran. Jika kita memejamkan mata dan memikirkan benda-benda yang
ada di luar pikiran tadi ke dalam pikiran kita (dengan keadaan mata tertutup
tadi) maka objek-objek tadi sudah berada di dalam pikiran kita. Maka benda yang
ada di dalam pikiran itu sifatnya ideal dan tetap serta tokohnya Plato.
Sedangkan benda yang ada di luar pikiran sifatnya berubah dan tokohnya
Aristoteles. Artinya, yang benar menurut ilmu adalah yang ada di dalam pikiran.
Objek pikir yang ada di luar pikiran menghasilkan filsafat realisme sedangkan
objek pikir yang ada di dalam pikiran menghasilkan filsafat idealisme.
Berdasarkan banyak objeknya, objeknya satu menghasilkan filsafat monoisme,
objeknya dua menghasilkan filsafat dualisme dan jika objeknya banyak akan
menghasilkan filsafat pluralisme. Untuk objeknya satu yakni monoisme itu
artinya yang benar adalah satu. Satu-satunya yang benar tak lain adalah merunut
pada causa prima yakni Tuhan. Sehingga, aliran filsafat tergantung dari dimana
objeknya, macam objek, banyak objek dan karakteristik objeknya sehingga
menghasilkan berbagai macam filsafat.
Setiap yang ada dan mungkin ada dapat menemukan filsafatnya. Hal
ini kembali lagi karena urusan dunia, urusan manusia. Karena keterbatasan
pikiran manusia sekaligus rahmat dari Tuhan, manusia tidak sempurna sehingga
manusia dapat membedakan. Oleh karena itu, ketidaksempurnaan justru membuat
kita dapat membedakan. Misalnya, kita tidak dapat hidup di air secara
terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak sempurna dan terbatas. Dari
ketidaksempurnaan itu kita dapat membedakan keadaan udara dan keadaan air. Jika
diperhatikan lebih dalam, ternyata apa yang mungkin ada itu memberikan rahmat
bagi kita jika kita dapat menggalinya lebih dalam.
Apa yang dimaksud dengan menembus ruang dan waktu? Jika kita
mengintrospeksi dan melihat pada diri sendiri, maka menembus ruang dan waktu
adalah mengalami atau melakukan perubahan. Jika belajar mengenai filsafat, maka
belajar pula mengenai keprofesionalan. Profesional itu artinya intensif yakni
dalam sedalam-dalamnya dan ekstensif yakni luas seluas-luasnya. Secara
profesional mempelajari filsafat artinya kita harus prefer dan merunut pada
pikiran para filsuf. Apa yang mereka katakan sehubungan pikiran-pikirannya kemudian kita korelasikan dan relevansikan
dengan pengalaman kita. Maka jika kita berbicara mengenai usaha dalam menembus
ruang dan waktu, hal ini memiliki dimensinya sendiri. Pertanyaan selanjutnya
adalah siapa yang menembus ruang dan waktu? Mungkin dirimu? Diriku? Atau diri
yang lain?
Menurut Imanuel Kant, waktu itu ada tiga macam, yakni waktu yang
berurutan, waktu yang berkelanjutan dan waktu yang berkesatuan yang artinya
waktu itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Sedangkan berbicara mengenai dimensi
ruang, terdapat bermacam-macam dimensi ruang seperti dimensi 0, dimensi 1,
dimensi 2, dan lain sebagainya. Tergantung kita menamai nya dimensi berapa.
Namun hal ini hanya sebatas berdasarkan teori. Pada kenyataannya, banyak lagi
klasifikasi dan macam ruang, misal ruang kuliah, ruang di bawah lindungan
pohon, ruang dosen, dan ruang-ruang lain. Jika kita ekstensikan lebih lanjut,
maka ruang itu adalah pikiran kita. Ruang itu meliputi yang ada dan mungkin
ada. Jadi, setiap yang ada dan mungkin ada memiliki ruangnya masing-masing. Ruang
itu terdiri atas wadah dan isi. Segala hal yang ada dan mungkin ada (objek pikiran)
pasti memiliki wadah dan isinya masing-masing. Tanpa wadah kita tidak dapat
menemukan isi dan tanpa isi kita tidak dapat menemukan wadah. Maka wadah dan
isi saling berkaitan. Untuk bisa mengetahui ruang, ternyata kita harus
mengetahui waktu. Maka cara untuk mengetahui ruang adalah dengan menggunakan
waktu. Begitu juga untuk mengetahui waktu kita harus menggunakan ruang.
Sebenar-benar waktu dan sebenar-benar ruang itu adalah tidak ada dimana-mana.
Mengapa? Karena hanya ada di dalam pikiran kita. Itu merupakan intuisi. Mengapa
kita dapat memahami ruang maupun waktu itu semata-mata karena intuisi tanpa
perlu definisi. Memang, definisi diperlukan tapi hanya sebagai pertolongan.
Pertanyaan mengenai siapa diri kita? Kita sebagai manusia memiliki
ruang. Ruang yang kita bangun mulai dari material, formal, normatif dan
spiritual. Material berkaitan dengan bentuk fisik dan penampilan diri kita
masing-masing, dan bersifat konkrit. Jika ditingkatkan menjadi formal yakni
yang ditulis secara resmi misalnya berupa tulisan-tulisan. Sedangkan normatif
itu adalah ilmunya, baik-buruk, tata krama, dan seterusnya. Dan tingkatan yang
paling tinggi adalah spiritual. Maka, minimal kita dapat menemukan empat ruang secara
hierarki dalam diri kita. Oleh karena itu, orang yang berilmu adalah orang yang
sopan santun terhadap ruang dan waktu. Dalam dunia ini, semua yang ada dan
mungkin ada tidak lain dan tidak bukan memiliki ruang. Setiap orang dapat
menciptakan ruang-ruangnya sendiri dengan pikirannya. Ruang di bumi, ruang di
akhirat, ruang dimensi-0, ruang dimensi-1, ruang dimensi-2, ruang dimensi-n,
dan lain sebagainya. Ruang seperti yang disebutkan tadi hanya dapat dimengerti
dan dipahami oleh orang-orang dewasa atau orang yang sudah terdidik dan tidak
dapat dipahami oleh anak-anak. Mengapa? Karena untuk memahaminya sudah tidak
menggunakan intuisi lagi, melainkan
sudah menggunakan bentuk formal atau aksiomatik. Artinya, kita dapat
memahami ruang dimensi-1 karena kita mempunyai ruang dimensi-2, kita dapat
memahami ruang dimensi-2 karena kita mempunyai ruang dimensi-3. Bagi
orang-orang yang berkecimpung di dunia matematika akan sangat mudah untuk
membuat ruang dimensi-n. Namun bagi orang awam, jangankan mruang dimensi-n,
untuk membayangkan ruang dimensi-4 pun akan mengalami kesulitan atau bahkan
tidak mampu untuk membayangkannya. Maka jika kita ekstensikan lagi menggunakan
bahasa analog, kita memiliki ruang lain. Apa saja? Ruangnya kaum kapitalis,
ruangnya sang power know. Itulah pentingnya kita bersopansantun terhadap ruang
dan waktu. Itulah sebabnya, orang yang berilmu adalah orang yang sopan dan
santun terhadap ilmu. Orang yang berilmu dalam pendidikan matematika adalah
orang yang sopan dan santun terhadap apa yang ada dan mungkin ada dalam
pendidikan matematika. Santun itu artinya mengerti. Tak hanya mengerti, tetapi
juga menghayati kemudian mengamalkan serta mengimplementasikan dan
merefleksikan. Jika kita bersopasantun terhadap ruang dan waktu maka kita
berhadapan dengan sistem. Sistem kita adalah menempatkan spiritual di tempat yang
paling atas. Tidak satupun unsur di dalam dunia ini yang terbebas dari unsur
spiritual. Itulah pendirian kita sebagai orang Indonesia yang berlandaskan
Pancasila dan menjunjung tinggi ketuhanan Yang Maha Esa. Jelas hal ini tidak
dapat terbantahkan. Namun di sisi lain, terdapat gejolak dari dunia ini, yakni
sang power know. Sang power know memiliki empat ujung tombak, yakni kapitalism
yang segala sesuatunya diukur dari laju perubahan ekonomi, pragmatism, hedonism
dan utilitarian. Kapitalism berpandangan bahwa segala sesuatunya diukur dari
laju perubahan ekonomi. Bahagia tidak bahagia itu diukur dari berhasil tidaknya
ekonomi. Utilitarian berpandangan bahwa segala sesuatu diukur dari segi
manfaat. Misalnya suatu negara menyerang negara lain, jika itu bermanfaat bagi
negara penyerang, maka perang itu dilakukan. Sayangnya, klaim itu hanya dilihat
dari sisi negara penyerang saja tanpa memposisikan diri melihat kebermanfaatan
sebagai negara yang diserang. Pragmatism menghasilkan budaya serba cepat,
praktis, tidak bertele-tele, anti-filsafat, dan sebagainya. Sedangkan pada
hedonism, orang-orang hanya mengejar rasa senang dan kenikmatan saja tanpa
memperhatikan norma-norma agama.
No comments:
Post a Comment