Refleksi Filsafat Pendidikan Matematika #Pertemuan 1
by: Fitria Yelni
Apa dan Bagaimana Filsafat?
Pertama kali mendengar kata “filsafat”, mungkin sebagian besar
orang akan langsung terkejut dan mendelik ngeri. Yap, selama ini filsafat
identik dengan hal-hal yang abstrak, bahasa tingkat tinggi dan membingungkan.
Namun banyak hal yang ternyata belum kita tahu tentang filsafat. Maka dari itu,
kita perlu mengenal dan membangun ilmu filsafat itu mulai dari diri kita
sendiri. Filsafat adalah olah pikir yang refleksif. Olah pikir mengenai apa?
Jawabannya adalah apapun yang dapat dipikirkan. Mengapa harus filsafat? Meniru
terminologi dunia, kata dunia dapat diletakkan di depan kata apapun dan
berarti sangat luas. Misalnya, dunia mahasiswa, dunia orangtua, dunia bisnis,
dunia politik, dunia remaja, dan masih banyak lagi dunia-dunia yang bisa
dibangun. Filsafat adalah ilmu yang multifase. Filsafat bisa menjadi sangat
ringat atau sangat berat. Filsafat bisa pula menghibur atau bahkan berbahaya.
Tentunya agar filsafat menjadi ringan, menghibur dan manfaat, ada aturan-aturan
atau adab-adab yang harus diperhatikan.
Adapun
adab dalam berfilsafat adalah sebagai berikut.
1.
Filsafat
itu letaknya tinggi.
Setinggi-tingginya seseorang dalam berfilsafat, tidak boleh
melebihi spiritual. Setinggi-tingginya seseorang dalam berolah pikir, tidak
boleh melebihi keyakinan. Oleh sebab itu, sebelum mempelajari filsafat
disarankan untuk berdo’a terlebih dahulu untuk memohon petunjuk kepada Tuhan.
Karena sifatnya yang tinggi itu, maka akibat atau efek yang dapat ditimbulkan oleh
filsafat ini cukup besar, terlebih untuk hal-hal yang sifatnya krusial seperti
politik, keyakinan dan sebagainya. Tak jarang, filsafat atau olah pikir ini
justru akan mengubah mindset atau membelokkan keyakinan kita. Dasar spiritual
yang dimaksud dalam berfilsafat itu, ibarat 1 langkah berfilsafat, maka setelah
itu harus mengambil 2 langkah berdoa, sekali melangkah, dua kali berdo’a,
begitu seterusnya. Begitulah kedudukan berfilsafat dikaitkan dengan spiritual
atau keyakinan.
Pada suatu hari dalam kunjungannya ke Indonesia -tepatnya saat
memberikan kuliah umum di UNY- seorang matematikawan hebat dari Michigan
University, Prof.Don berbincang dengan Pak Marsigit, seorang dosen matematika
UNY. Percakapan yang terjadi antara keduanya kurang lebih seperti berikut.
Prof. Don : Apa
hubungannya berdoa dan Matematika?
Pak Marsigit : Kenapa?
Prof. Don : Mengapa ketika engkau mengajar selalu
diawali dengan berdo’a dan diakhiri dengan berdo’a? Apa hubungannya dengan
Matematika?
Pak Marsigit : Kamu tidak
percaya dengan Tuhan?
Prof. Don : Tidak. Karena
aku tidak mengerti.
Pak Marsigit : Untuk bertemu Tuhan, tidak cukup hanya
dipikirkan karena Tuhan itu lewat hati, lewat keyakinan. Jika ingin bertemu
Tuhan dengan pikiran, maka tidak akan pernah bertemu.
Dari percakapan di atas,
tersirat bagaimana bahayanya belajar filsafat yang tidak dilandasi dengan
spiritual.
2.
Filsafat
itu hidup.
Oleh karena filsafat itu hidup,
maka cara mempelajarinya adalah dengan menggunakan metode hidup.
Bagaimana cara mengetahui metode hidup? Pergilah keluar. Catat, bagaimana Tuhan
dapat menciptakan, mengatur dan menghidupkan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
bahkan alam semesta beserta isinya. Jika yang digunakan adalah metode hidup,
maka metode ini akan berlandaskan dan berbasis pada hidup dan kehidupan. Jika
dalam hidup terdapat hidup sehat dan hidup tidak sehat serta hidup bahagia dan
hidup susah, maka demikian juga dalam filsafat, ada filsafat sehat dan tidak
sehat serta filsafat bahagia dan filsafat susah.
Sesuai dengan namanya, hidup yang sehat adalah hidup yang beradab.
Maka, berfilsafat yang sehat adalah berfilsafat yang beradab. Bagaimana
berfilsafat yang sehat itu? Berfilsafat yang sehat adalah berfilsafat dengan
berusaha mengenal tata cara dan sopan santun. Adapun contoh filsafat yang tidak
sehat misalnya seperti tergesa-gesa, terpaksa, memaksa, sakit, hilang tanpa
pemberitahuan, dan lain sebagainya.
3.
Bahasa
yang dipakai untuk berfilsafat itu adalah bahasa analog.
Dalam berfilsafat digunakan bahasa analog, yakni bahasa yang lebih
tinggi kedudukannya daripada sekedar kiasan. Contoh bahasa kiasan misalnya “si
anu tadi hampir jatuh”. Dalam kalimat tersebut, “anu” dapat disebut sebagai
kiasan. Adapun contoh bahasa analog yang dapat dipakai dalam berfilsafat
misalnya “hati” dapat dipakai untuk menyebutkan keyakinan, spiritual, agama,
dan ketuhanan. Kata “pikiran” dapat dipakai untuk menyatakan urusan
manusia, urusan dunia atau urusan yang tampak.
4.
Objek
berfilsafat adalah apa yang ada dan mungkin ada.
Objek yang ada adalah segala sesuatu atau hal yang bisa dilihat,
bisa didengar dan dapat dipikirkan. Selain itu, hal yang ada adalah sesuatu
yang sudah diketahui. Sedangkan hal yang mungkin ada adalah segala sesuatu atau
hal yang belum diketahui, jadi statusnya bisa ada bisa tidak ada. Kita ambil
contoh sederhana mengenai seseorang yang belum kita ketahui namanya. Di awal,
nama orang tersebut adalah sesuatu yang mungkin ada, karena statusnya bisa ada
dan bisa tidak ada karena keberadaannya belum ada di dalam pikiran kita. Namun
setelah kita berkenalan dan mengetahui namanya, maka nama orang tersebut
menjadi ada di dalam pikiran kita. Ini pulalah yang terdapat dalam filsafat.
Segala hal yang ada bahkan mungkin ada dapat dijadikan objek dalam berfilsafat.
5.
Dalam
mempelajari filsafat harus berpikiran jernih.
Orang yang mempelajari filsafat harus membersihkan diri dari
pikiran-pikiran yang mengganggu. Pikiran-pikiran menggganggu yang seperti apa?
Pikiran yang mengganggu seperti mengantuk, tidak fokus, terbebani rasa sakit, bersedih,
dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengutamakan kejernihan
memandang kedudukan filsafat.
Filsafat yang
merupakan olah pikir yang refleksif tentunya memiliki referensi. Jika kedudukannya
dinaikkan lagi, maka ada spiritual yang memiliki kitab suci. Jika kedudukannya
diturunkan, ada ilmu bidang-ilmu bidang yang memiliki buku pintar. Jika
kedudukannya diturunkan lagi, akan ada kegiatan-kegiatan yang memiliki petunjuk
teknis.
Berbicara
mengenai filsafat, sama halnya berbicara mengenai terjemah dan menterjemahkan,
atau dalam bahasa Yunani disebut hermenetika. Terjemah dan menerjemahkan
dalam filsafat artinya berinteraksi yang refleksif. Setiap hal yang ada di
dunia ini saling berinteraksi satu sama lainnya. Manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, material, lingkungan, bahkan batu pun saling berinteraksi
dengan lingkungan.
Telah
disebutkan sebelumnya bahwa filsafat itu menggunakan metode hidup. Oleh karena
hidup yang baik itu adalah hidup yang sehat, maka filsafat yang baik adalah
filsafat yang sehat. Hidup yang sehat adalah hidup yang mengerti aturan atau
adab. Bagaimana adab hidup yang sehat? Hidup yang sehat adalah hidup yang
harmoni, yakni hidup yang seimbang antara unsur-unsurnya. Hidup yang bahagia
memang identik dengan hidup yang harmoni dan seimbang. Hidup yang bahagia itu
sendiri merupakan hidup seimbang antara sumbu ikhtiar, sumbu usaha dan sumbu
keikhlasan. Dengan kata lain, hidup bahagia yang dimaksud adalah keikhlasan
menerima di dalam ikhtiar yang mengerti aturan-aturan dalam kerangka spiritual.
Tidak cukup hidup yang hanya memikirkan kepentingan dunia saja. Melainkan juga
mengerti akan pentingnya mencapai kebahagiaan akhirat. Jadi, antara dunia dan
akhirat juga harus seimbang.
Pertanyaan:
1.
Bagaimana
pikiran (mindset) yang lemah memberikan pengaruh cenderung mengarah pada doa
yang ragu-ragu dan tindakan yang alakadarnya?
2.
Dan
bagaimana membangun pikiran yang kuat sementara setiap orang diciptakan unik
dan berbeda dengan mindset yang berbeda-beda pula.
No comments:
Post a Comment