Refleksi Filsafat Pendidikan Matematika #Pertemuan 3
Penamaan Aliran Filsafat
Kita telah
mengenal ada banyak sekali aliran-aliran filsafat yang muncul dan berkembang di
muka bumi ini. muai dari zaman Yunani Kuno hingga zaman modern seperti sekarang
ini. Filsafat dapat diberi nama berdasarkan hal-hal apa saja yang berkaitan
dengannya, mulai dari objek pembicaraan, tokoh, sifat hingga aktivitasnya.
Pertama, aliran filsafat diberi nama berdasarkan objeknya. Jika objek
pembicaraan atau yang dibahas adalah mengenai benda-benda alam, maka
filsafatnya adalah filsafat alam. Kedua, nama aliran filsafat diambil dari nama
tokohnya. Misalnya hegelianisme yang menyatakan bahwa segala yang ada dan
mungkin ada adalah sejarah. Ketiga, nama aliran filsafat juga dapat bergantung
dari sifatnya. Misalnya, benda dalampikir bersifat ideal, maka filsafatnya
adalah idealisme. Ideal itu tetap. Filsafatnya sama dengan Permenides.
Pemikiran Plato sejalan dengan Permenides. Kita ambil analogi bilangan. Suatu
bilangan itu tetap karena berada di dalam pikiran. Lain halnya jika bilangan
itu sudah berada di luar pikiran. Jika bilangan itu sudah berada di luar
pikiran, maka ia meliputi apa yang ada dan mungkin ada, sehingga bersifat
plural. Sebagai contoh, angka 5. Lima
itu plural, karena meliputi lima yang tebal, lima yang tipis, lima yang
besar dan lima yang kecil. Maka filsafatnya realisme, artinya real. Tokoh
realisme adalah Aristotelian. Keempat, aliran filsafat dapat diberi nama
berdasarkan aktivitasnya. Socrates, filsafatnya diperoleh dengan cara bertanya
sehingga filsafatnya diberi nama dialektisisme.
Jika yang benar
itu satu, maka filsafatnya monoisme. Hal ini berarti tidak lain dan tidak bukan
yang benar itu satu, yaitu Tuhan. Tuhan itu monoism. Jika sudah berbicara dan
masuk ke lingkup hati, maka yang benar itu satu. Lain halnya jika yang benar itu banyak, maka lingkup
pembicaraan mengarah ke dunia. Maka dunia itu banyak; pikiran itu banyak;
sehingga banyak itu pluralisme. Jika yang benar itu pada dua kutub, misalnya
boleh – tidak boleh, baik – buruk; masyarakat kita kurang terampil memberi
penjelasan mengenai baik dan buruk.
Jika yang benar
adalah menurutku, maka filsafatnya subjektivisme. Sedangkan apabila mengakui
pendapat orang lain, maka filsafatnya adalah objektivisme. Namun semua penamaan
aliran filsafat ini tidak semudah yang telah dikatakan, karena semuanya telah
melalui abstraksi yang mahadahsyat dan mahahebat dengan memilih salah satu
statement yang sangat singkat. Semua hal tersebut berkaitan dengan to
determine yang artinya menentukan. Menentukan dengan luas seluas-luasnya
dan dalam sedalam-dalamnya; oleh karena itu manusia tidak dapat lepas dari
kegiatan to determine. Sebagai contoh, memakai baju. Nah, dalam memakai
baju maka kita to determine terhadap baju, dalam hal ini kita menentukan
nasib baju tersebut. Maka determine yang absolut adalah Tuhan. Manusia
yang memiliki kebiasaan menentukan sifat termasuk determinism. Apa saja yang dilakukan
manusia? Jawabannya adalah banyak hal. Mulai dari memindah, mengurangi,
menghukum, dan lain lain. Tidak perlu terlalu jauh mengatakan politikus dan
otoriter itu determinis. Bahkan melihat dan memikirkan suatu hal pun sudah
termasuk tindakan yang determine. Determine itu sejalan dengan
reduksi. Reduksi itu memilih. Maka kita terlahir dari rahim ibu siapa, itu
telah terpilih dati Tuhan. Kita dapat mengatakan bahwa itu takdir. Kita tidak
dapat memilih, tetapi terpilih. Maka determine dan reduksi itu adalah
metode yang sangat ampuh tetapi sekaligus sangat berbahaya dan sangat
merugikan. Analoginya, saat perkuliahan kita memandang dan menatap ke arah
dosen. Maka kita kehilangan kesempatan untuk memandang yang lain. Kita sangat
merugi karena yang lain memiliki hak yang sama untuk dipandang. Maka dari
analogi tersebut kita bersifat reduksi dan determine sekaligus. Sangat
berbahaya jika sifat determinis tersebut menutupi sifat yang lain, sehingga
yang lain tidak berdaya. Oleh karena itu, maka di dalam suatu perkuliahan
meskipun duduk mengitari dosen, tetapi dosen tidak berdiri. Dalam hal ini dosen
duduk sama rendah dengan mahasiswanya, artinya memiliki hak yang sama dalam
mencari kebenaran. Dalam berfilsafat, kita tidak dapat menggunakan metode yang
instan. Filsafat itu hidup, maka gunakanlah metode hidup untuk mempelajarinya,
yakni dengan bergaul, berinteraksi dan membaca terus-menerus.
Filsafatnya
para dewa adalah transendentalism. Siapakah “dewa” yang dimaksud? Dewa itu diri
kita. Dimana dimensinya setingkat lebih tinggi dari orang atu benda yang ada di
bawahnya. Contoh sederhananya adalah saya memiliki adik. Maka saya adalah dewa
bagi adik saya. Maka ilmu transenden. Jika saya korupsi, maka adik saya tidak
mengerti. Yang dapat menangkap adalah ayah saya. Dalam kasus ini, ayah adalah
dewa bagi saya. Contoh lain dari sifat transenden ini adalah ketika seseorang
sedang mengajar, maka ia dewa bagi murid-muridnya. Saya dewa terhadap baju
saya. Apapun yang saya lakukan terhadap baju saya, maka baju itu mengikuti.
Dalam filsafat,
digunakan kata ‘dewa’, baik untuk menyebut diri sendiri maupun orang lain yang
dimensinya lebih tinggi. Mengapa tidak menggunakan kata atau istilah lain?
Sebab kata ‘dewa’ identik dengan ‘Tuhan’. Jawabannya karena ‘dewa’ adalah kata
yang paling mewakili. Telah disebutkan sebelumnya bahwa filsafat itu
menggunakan bahasa analog. Bahasa analog itu lebih tinggi dari sekedar bahasa
kiasan. Itulah berbahayanya berfilsafat jika tidak ditempatkan pada konteksnya.
Hal yang keliru adalah kecenderungan kita dalam membawa istilah-istilah itu ke
luar. Karena sudah tidak kontekstual lagi. Maka berbahayalah orang berfilsafat
secara parsial dan tidak kontekstual, setengah-setengah, sepenggal, tidak utuh.
Filsafat itu refleksif bagi orang-orang dewasa dan orang-orang yang mampu
memikirkannya. Artinya, walaupun sudah tua, belum tentu dewasa pemikirannya.
No comments:
Post a Comment