Sunday, November 4, 2012

Apa dan Bagaimaa Filsafat???


Refleksi Filsafat Pendidikan Matematika #Pertemuan 1 
by: Fitria Yelni
Apa dan Bagaimana Filsafat?
Pertama kali mendengar kata “filsafat”, mungkin sebagian besar orang akan langsung terkejut dan mendelik ngeri. Yap, selama ini filsafat identik dengan hal-hal yang abstrak, bahasa tingkat tinggi dan membingungkan. Namun banyak hal yang ternyata belum kita tahu tentang filsafat. Maka dari itu, kita perlu mengenal dan membangun ilmu filsafat itu mulai dari diri kita sendiri. Filsafat adalah olah pikir yang refleksif. Olah pikir mengenai apa? Jawabannya adalah apapun yang dapat dipikirkan. Mengapa harus filsafat? Meniru terminologi dunia, kata dunia dapat diletakkan di depan kata apapun dan berarti sangat luas. Misalnya, dunia mahasiswa, dunia orangtua, dunia bisnis, dunia politik, dunia remaja, dan masih banyak lagi dunia-dunia yang bisa dibangun. Filsafat adalah ilmu yang multifase. Filsafat bisa menjadi sangat ringat atau sangat berat. Filsafat bisa pula menghibur atau bahkan berbahaya. Tentunya agar filsafat menjadi ringan, menghibur dan manfaat, ada aturan-aturan atau adab-adab yang harus diperhatikan.
Adapun adab dalam berfilsafat adalah sebagai berikut.
1.    Filsafat itu letaknya tinggi.
Setinggi-tingginya seseorang dalam berfilsafat, tidak boleh melebihi spiritual. Setinggi-tingginya seseorang dalam berolah pikir, tidak boleh melebihi keyakinan. Oleh sebab itu, sebelum mempelajari filsafat disarankan untuk berdo’a terlebih dahulu untuk memohon petunjuk kepada Tuhan. Karena sifatnya yang tinggi itu, maka akibat atau efek yang dapat ditimbulkan oleh filsafat ini cukup besar, terlebih untuk hal-hal yang sifatnya krusial seperti politik, keyakinan dan sebagainya. Tak jarang, filsafat atau olah pikir ini justru akan mengubah mindset atau membelokkan keyakinan kita. Dasar spiritual yang dimaksud dalam berfilsafat itu, ibarat 1 langkah berfilsafat, maka setelah itu harus mengambil 2 langkah berdoa, sekali melangkah, dua kali berdo’a, begitu seterusnya. Begitulah kedudukan berfilsafat dikaitkan dengan spiritual atau keyakinan.
Pada suatu hari dalam kunjungannya ke Indonesia -tepatnya saat memberikan kuliah umum di UNY- seorang matematikawan hebat dari Michigan University, Prof.Don berbincang dengan Pak Marsigit, seorang dosen matematika UNY. Percakapan yang terjadi antara keduanya kurang lebih seperti berikut.
Prof. Don     : Apa hubungannya berdoa dan Matematika?
Pak Marsigit : Kenapa?
Prof. Don     : Mengapa ketika engkau mengajar selalu diawali dengan berdo’a dan diakhiri dengan berdo’a? Apa hubungannya dengan Matematika?
Pak Marsigit : Kamu tidak percaya dengan Tuhan?
Prof. Don     : Tidak. Karena aku tidak mengerti.
Pak Marsigit : Untuk bertemu Tuhan, tidak cukup hanya dipikirkan karena Tuhan itu lewat hati, lewat keyakinan. Jika ingin bertemu Tuhan dengan pikiran, maka tidak akan pernah bertemu.
 Dari percakapan di atas, tersirat bagaimana bahayanya belajar filsafat yang tidak dilandasi dengan spiritual.
2.    Filsafat itu hidup.
Oleh karena filsafat itu hidup,  maka cara mempelajarinya adalah dengan menggunakan metode hidup. Bagaimana cara mengetahui metode hidup? Pergilah keluar. Catat, bagaimana Tuhan dapat menciptakan, mengatur dan menghidupkan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan alam semesta beserta isinya. Jika yang digunakan adalah metode hidup, maka metode ini akan berlandaskan dan berbasis pada hidup dan kehidupan. Jika dalam hidup terdapat hidup sehat dan hidup tidak sehat serta hidup bahagia dan hidup susah, maka demikian juga dalam filsafat, ada filsafat sehat dan tidak sehat serta filsafat bahagia dan filsafat susah.
Sesuai dengan namanya, hidup yang sehat adalah hidup yang beradab. Maka, berfilsafat yang sehat adalah berfilsafat yang beradab. Bagaimana berfilsafat yang sehat itu? Berfilsafat yang sehat adalah berfilsafat dengan berusaha mengenal tata cara dan sopan santun. Adapun contoh filsafat yang tidak sehat misalnya seperti tergesa-gesa, terpaksa, memaksa, sakit, hilang tanpa pemberitahuan, dan lain sebagainya.
3.    Bahasa yang dipakai untuk berfilsafat itu adalah bahasa analog.
Dalam berfilsafat digunakan bahasa analog, yakni bahasa yang lebih tinggi kedudukannya daripada sekedar kiasan. Contoh bahasa kiasan misalnya “si anu tadi hampir jatuh”. Dalam kalimat tersebut, “anu” dapat disebut sebagai kiasan. Adapun contoh bahasa analog yang dapat dipakai dalam berfilsafat misalnya “hati” dapat dipakai untuk menyebutkan keyakinan, spiritual, agama, dan ketuhanan. Kata “pikiran” dapat dipakai untuk menyatakan urusan manusia, urusan dunia atau urusan yang tampak.
4.    Objek berfilsafat adalah apa yang ada dan mungkin ada.
Objek yang ada adalah segala sesuatu atau hal yang bisa dilihat, bisa didengar dan dapat dipikirkan. Selain itu, hal yang ada adalah sesuatu yang sudah diketahui. Sedangkan hal yang mungkin ada adalah segala sesuatu atau hal yang belum diketahui, jadi statusnya bisa ada bisa tidak ada. Kita ambil contoh sederhana mengenai seseorang yang belum kita ketahui namanya. Di awal, nama orang tersebut adalah sesuatu yang mungkin ada, karena statusnya bisa ada dan bisa tidak ada karena keberadaannya belum ada di dalam pikiran kita. Namun setelah kita berkenalan dan mengetahui namanya, maka nama orang tersebut menjadi ada di dalam pikiran kita. Ini pulalah yang terdapat dalam filsafat. Segala hal yang ada bahkan mungkin ada dapat dijadikan objek dalam berfilsafat.
5.    Dalam mempelajari filsafat harus berpikiran jernih.
Orang yang mempelajari filsafat harus membersihkan diri dari pikiran-pikiran yang mengganggu. Pikiran-pikiran menggganggu yang seperti apa? Pikiran yang mengganggu seperti mengantuk, tidak fokus, terbebani rasa sakit, bersedih, dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengutamakan kejernihan memandang kedudukan filsafat.
Filsafat yang merupakan olah pikir yang refleksif tentunya memiliki referensi. Jika kedudukannya dinaikkan lagi, maka ada spiritual yang memiliki kitab suci. Jika kedudukannya diturunkan, ada ilmu bidang-ilmu bidang yang memiliki buku pintar. Jika kedudukannya diturunkan lagi, akan ada kegiatan-kegiatan yang memiliki petunjuk teknis.
Berbicara mengenai filsafat, sama halnya berbicara mengenai terjemah dan menterjemahkan, atau dalam bahasa Yunani disebut hermenetika. Terjemah dan menerjemahkan dalam filsafat artinya berinteraksi yang refleksif. Setiap hal yang ada di dunia ini saling berinteraksi satu sama lainnya. Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, material, lingkungan, bahkan batu pun saling berinteraksi dengan lingkungan.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa filsafat itu menggunakan metode hidup. Oleh karena hidup yang baik itu adalah hidup yang sehat, maka filsafat yang baik adalah filsafat yang sehat. Hidup yang sehat adalah hidup yang mengerti aturan atau adab. Bagaimana adab hidup yang sehat? Hidup yang sehat adalah hidup yang harmoni, yakni hidup yang seimbang antara unsur-unsurnya. Hidup yang bahagia memang identik dengan hidup yang harmoni dan seimbang. Hidup yang bahagia itu sendiri merupakan hidup seimbang antara sumbu ikhtiar, sumbu usaha dan sumbu keikhlasan. Dengan kata lain, hidup bahagia yang dimaksud adalah keikhlasan menerima di dalam ikhtiar yang mengerti aturan-aturan dalam kerangka spiritual. Tidak cukup hidup yang hanya memikirkan kepentingan dunia saja. Melainkan juga mengerti akan pentingnya mencapai kebahagiaan akhirat. Jadi, antara dunia dan akhirat juga harus seimbang.
Pertanyaan:
1.    Bagaimana pikiran (mindset) yang lemah memberikan pengaruh cenderung mengarah pada doa yang ragu-ragu dan tindakan yang alakadarnya?
2.    Dan bagaimana membangun pikiran yang kuat sementara setiap orang diciptakan unik dan berbeda dengan mindset yang berbeda-beda pula.

No comments:

Post a Comment