Sunday, November 4, 2012

Penamaan Aliran Filsafat

Refleksi Filsafat Pendidikan Matematika #Pertemuan 3
Penamaan Aliran Filsafat
Kita telah mengenal ada banyak sekali aliran-aliran filsafat yang muncul dan berkembang di muka bumi ini. muai dari zaman Yunani Kuno hingga zaman modern seperti sekarang ini. Filsafat dapat diberi nama berdasarkan hal-hal apa saja yang berkaitan dengannya, mulai dari objek pembicaraan, tokoh, sifat hingga aktivitasnya. Pertama, aliran filsafat diberi nama berdasarkan objeknya. Jika objek pembicaraan atau yang dibahas adalah mengenai benda-benda alam, maka filsafatnya adalah filsafat alam. Kedua, nama aliran filsafat diambil dari nama tokohnya. Misalnya hegelianisme yang menyatakan bahwa segala yang ada dan mungkin ada adalah sejarah. Ketiga, nama aliran filsafat juga dapat bergantung dari sifatnya. Misalnya, benda dalampikir bersifat ideal, maka filsafatnya adalah idealisme. Ideal itu tetap. Filsafatnya sama dengan Permenides. Pemikiran Plato sejalan dengan Permenides. Kita ambil analogi bilangan. Suatu bilangan itu tetap karena berada di dalam pikiran. Lain halnya jika bilangan itu sudah berada di luar pikiran. Jika bilangan itu sudah berada di luar pikiran, maka ia meliputi apa yang ada dan mungkin ada, sehingga bersifat plural. Sebagai contoh, angka 5. Lima  itu plural, karena meliputi lima yang tebal, lima yang tipis, lima yang besar dan lima yang kecil. Maka filsafatnya realisme, artinya real. Tokoh realisme adalah Aristotelian. Keempat, aliran filsafat dapat diberi nama berdasarkan aktivitasnya. Socrates, filsafatnya diperoleh dengan cara bertanya sehingga filsafatnya diberi nama dialektisisme.
Jika yang benar itu satu, maka filsafatnya monoisme. Hal ini berarti tidak lain dan tidak bukan yang benar itu satu, yaitu Tuhan. Tuhan itu monoism. Jika sudah berbicara dan masuk ke lingkup hati, maka yang benar itu satu. Lain halnya jika  yang benar itu banyak, maka lingkup pembicaraan mengarah ke dunia. Maka dunia itu banyak; pikiran itu banyak; sehingga banyak itu pluralisme. Jika yang benar itu pada dua kutub, misalnya boleh – tidak boleh, baik – buruk; masyarakat kita kurang terampil memberi penjelasan mengenai baik dan buruk.
Jika yang benar adalah menurutku, maka filsafatnya subjektivisme. Sedangkan apabila mengakui pendapat orang lain, maka filsafatnya adalah objektivisme. Namun semua penamaan aliran filsafat ini tidak semudah yang telah dikatakan, karena semuanya telah melalui abstraksi yang mahadahsyat dan mahahebat dengan memilih salah satu statement yang sangat singkat. Semua hal tersebut berkaitan dengan to determine yang artinya menentukan. Menentukan dengan luas seluas-luasnya dan dalam sedalam-dalamnya; oleh karena itu manusia tidak dapat lepas dari kegiatan to determine. Sebagai contoh, memakai baju. Nah, dalam memakai baju maka kita to determine terhadap baju, dalam hal ini kita menentukan nasib baju tersebut. Maka determine yang absolut adalah Tuhan. Manusia yang memiliki kebiasaan menentukan sifat termasuk determinism. Apa saja yang dilakukan manusia? Jawabannya adalah banyak hal. Mulai dari memindah, mengurangi, menghukum, dan lain lain. Tidak perlu terlalu jauh mengatakan politikus dan otoriter itu determinis. Bahkan melihat dan memikirkan suatu hal pun sudah termasuk tindakan yang determine. Determine itu sejalan dengan reduksi. Reduksi itu memilih. Maka kita terlahir dari rahim ibu siapa, itu telah terpilih dati Tuhan. Kita dapat mengatakan bahwa itu takdir. Kita tidak dapat memilih, tetapi terpilih. Maka determine dan reduksi itu adalah metode yang sangat ampuh tetapi sekaligus sangat berbahaya dan sangat merugikan. Analoginya, saat perkuliahan kita memandang dan menatap ke arah dosen. Maka kita kehilangan kesempatan untuk memandang yang lain. Kita sangat merugi karena yang lain memiliki hak yang sama untuk dipandang. Maka dari analogi tersebut kita bersifat reduksi dan determine sekaligus. Sangat berbahaya jika sifat determinis tersebut menutupi sifat yang lain, sehingga yang lain tidak berdaya. Oleh karena itu, maka di dalam suatu perkuliahan meskipun duduk mengitari dosen, tetapi dosen tidak berdiri. Dalam hal ini dosen duduk sama rendah dengan mahasiswanya, artinya memiliki hak yang sama dalam mencari kebenaran. Dalam berfilsafat, kita tidak dapat menggunakan metode yang instan. Filsafat itu hidup, maka gunakanlah metode hidup untuk mempelajarinya, yakni dengan bergaul, berinteraksi dan membaca terus-menerus.
Filsafatnya para dewa adalah transendentalism. Siapakah “dewa” yang dimaksud? Dewa itu diri kita. Dimana dimensinya setingkat lebih tinggi dari orang atu benda yang ada di bawahnya. Contoh sederhananya adalah saya memiliki adik. Maka saya adalah dewa bagi adik saya. Maka ilmu transenden. Jika saya korupsi, maka adik saya tidak mengerti. Yang dapat menangkap adalah ayah saya. Dalam kasus ini, ayah adalah dewa bagi saya. Contoh lain dari sifat transenden ini adalah ketika seseorang sedang mengajar, maka ia dewa bagi murid-muridnya. Saya dewa terhadap baju saya. Apapun yang saya lakukan terhadap baju saya, maka baju itu mengikuti.
Dalam filsafat, digunakan kata ‘dewa’, baik untuk menyebut diri sendiri maupun orang lain yang dimensinya lebih tinggi. Mengapa tidak menggunakan kata atau istilah lain? Sebab kata ‘dewa’ identik dengan ‘Tuhan’. Jawabannya karena ‘dewa’ adalah kata yang paling mewakili. Telah disebutkan sebelumnya bahwa filsafat itu menggunakan bahasa analog. Bahasa analog itu lebih tinggi dari sekedar bahasa kiasan. Itulah berbahayanya berfilsafat jika tidak ditempatkan pada konteksnya. Hal yang keliru adalah kecenderungan kita dalam membawa istilah-istilah itu ke luar. Karena sudah tidak kontekstual lagi. Maka berbahayalah orang berfilsafat secara parsial dan tidak kontekstual, setengah-setengah, sepenggal, tidak utuh. Filsafat itu refleksif bagi orang-orang dewasa dan orang-orang yang mampu memikirkannya. Artinya, walaupun sudah tua, belum tentu dewasa pemikirannya.

No comments:

Post a Comment