Monday, January 21, 2013

Menembus Ruang dan Waktu


Refleksi Filsafat Pendidikan Matematika

Menembus Ruang dan Waktu
            Berfilsafat merupakan olah pikir; baik olah pikir sendiri, oleh pikir bersama, olah pikir bangsa Indonesia, olah pikir pikiran bangsa-bangsa di dunia, olah pikir memikirkan dunia akhirat dan masih banyak oleh pikir yang mungkin dalam berfilsafat. Pertanyaannya sekarang diperluas, mampukah kita memikirkan olah pikir – olah pikir tadi? Dalam berolah pikir tadi diperlukan sumber. Sumbernya sendiri adalah pikiran – pikiran para filsuf. Dalam berfilsafat  tergantung dari objeknya. Objek berfilsafat adalah apa yang ada dan mungkin ada. Namun objek berfilsafat sendiri dapat dipersempit. Misalnya pada jaman Yunani Kuno, orang berpikir mengenai segala sesuatu itu terbuat dari apa? Bumi terbuat dari apa? Bulan terbuat dari apa? Tanah terbuat dari apa? Maka filsafatnya dinamakan filsafat alam. Lain halnya jika objeknya tentang diri manusia maka filsafatnya dinamakan filsafat manusia. Jika objeknya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan spiritual, maka filsafatnya dinamakan filsafat spiritual, filsafat teologi ataupun filsafat ketuhanan.
Secara profesional, selain berbicara mengenai objeknya, dalam berfilsafat kita juga lebih rinci berbicara mengenai lokasi objek. Artinya adalah dimana objek atau benda yang sedang kita pikirkan atau bicarakan. Maka terbagilah menjadi dua macam, yakni yang ada di dalam pikiran dan yang ada di luar pikiran. Apa yang dapat dilihat, didengar dan diraba itu adalah objek yang ada di luar pikiran. Jika kita memejamkan mata dan memikirkan benda-benda yang ada di luar pikiran tadi ke dalam pikiran kita (dengan keadaan mata tertutup tadi) maka objek-objek tadi sudah berada di dalam pikiran kita. Maka benda yang ada di dalam pikiran itu sifatnya ideal dan tetap serta tokohnya Plato. Sedangkan benda yang ada di luar pikiran sifatnya berubah dan tokohnya Aristoteles. Artinya, yang benar menurut ilmu adalah yang ada di dalam pikiran. Objek pikir yang ada di luar pikiran menghasilkan filsafat realisme sedangkan objek pikir yang ada di dalam pikiran menghasilkan filsafat idealisme. Berdasarkan banyak objeknya, objeknya satu menghasilkan filsafat monoisme, objeknya dua menghasilkan filsafat dualisme dan jika objeknya banyak akan menghasilkan filsafat pluralisme. Untuk objeknya satu yakni monoisme itu artinya yang benar adalah satu. Satu-satunya yang benar tak lain adalah merunut pada causa prima yakni Tuhan. Sehingga, aliran filsafat tergantung dari dimana objeknya, macam objek, banyak objek dan karakteristik objeknya sehingga menghasilkan berbagai macam filsafat.
Setiap yang ada dan mungkin ada dapat menemukan filsafatnya. Hal ini kembali lagi karena urusan dunia, urusan manusia. Karena keterbatasan pikiran manusia sekaligus rahmat dari Tuhan, manusia tidak sempurna sehingga manusia dapat membedakan. Oleh karena itu, ketidaksempurnaan justru membuat kita dapat membedakan. Misalnya, kita tidak dapat hidup di air secara terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak sempurna dan terbatas. Dari ketidaksempurnaan itu kita dapat membedakan keadaan udara dan keadaan air. Jika diperhatikan lebih dalam, ternyata apa yang mungkin ada itu memberikan rahmat bagi kita jika kita dapat menggalinya lebih dalam.
Apa yang dimaksud dengan menembus ruang dan waktu? Jika kita mengintrospeksi dan melihat pada diri sendiri, maka menembus ruang dan waktu adalah mengalami atau melakukan perubahan. Jika belajar mengenai filsafat, maka belajar pula mengenai keprofesionalan. Profesional itu artinya intensif yakni dalam sedalam-dalamnya dan ekstensif yakni luas seluas-luasnya. Secara profesional mempelajari filsafat artinya kita harus prefer dan merunut pada pikiran para filsuf. Apa yang mereka katakan sehubungan pikiran-pikirannya  kemudian kita korelasikan dan relevansikan dengan pengalaman kita. Maka jika kita berbicara mengenai usaha dalam menembus ruang dan waktu, hal ini memiliki dimensinya sendiri. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang menembus ruang dan waktu? Mungkin dirimu? Diriku? Atau diri yang lain?
Menurut Imanuel Kant, waktu itu ada tiga macam, yakni waktu yang berurutan, waktu yang berkelanjutan dan waktu yang berkesatuan yang artinya waktu itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Sedangkan berbicara mengenai dimensi ruang, terdapat bermacam-macam dimensi ruang seperti dimensi 0, dimensi 1, dimensi 2, dan lain sebagainya. Tergantung kita menamai nya dimensi berapa. Namun hal ini hanya sebatas berdasarkan teori. Pada kenyataannya, banyak lagi klasifikasi dan macam ruang, misal ruang kuliah, ruang di bawah lindungan pohon, ruang dosen, dan ruang-ruang lain. Jika kita ekstensikan lebih lanjut, maka ruang itu adalah pikiran kita. Ruang itu meliputi yang ada dan mungkin ada. Jadi, setiap yang ada dan mungkin ada memiliki ruangnya masing-masing. Ruang itu terdiri atas wadah dan isi. Segala hal yang ada dan mungkin ada (objek pikiran) pasti memiliki wadah dan isinya masing-masing. Tanpa wadah kita tidak dapat menemukan isi dan tanpa isi kita tidak dapat menemukan wadah. Maka wadah dan isi saling berkaitan. Untuk bisa mengetahui ruang, ternyata kita harus mengetahui waktu. Maka cara untuk mengetahui ruang adalah dengan menggunakan waktu. Begitu juga untuk mengetahui waktu kita harus menggunakan ruang. Sebenar-benar waktu dan sebenar-benar ruang itu adalah tidak ada dimana-mana. Mengapa? Karena hanya ada di dalam pikiran kita. Itu merupakan intuisi. Mengapa kita dapat memahami ruang maupun waktu itu semata-mata karena intuisi tanpa perlu definisi. Memang, definisi diperlukan tapi hanya sebagai pertolongan.
Pertanyaan mengenai siapa diri kita? Kita sebagai manusia memiliki ruang. Ruang yang kita bangun mulai dari material, formal, normatif dan spiritual. Material berkaitan dengan bentuk fisik dan penampilan diri kita masing-masing, dan bersifat konkrit. Jika ditingkatkan menjadi formal yakni yang ditulis secara resmi misalnya berupa tulisan-tulisan. Sedangkan normatif itu adalah ilmunya, baik-buruk, tata krama, dan seterusnya. Dan tingkatan yang paling tinggi adalah spiritual. Maka, minimal kita dapat menemukan empat ruang secara hierarki dalam diri kita. Oleh karena itu, orang yang berilmu adalah orang yang sopan santun terhadap ruang dan waktu. Dalam dunia ini, semua yang ada dan mungkin ada tidak lain dan tidak bukan memiliki ruang. Setiap orang dapat menciptakan ruang-ruangnya sendiri dengan pikirannya. Ruang di bumi, ruang di akhirat, ruang dimensi-0, ruang dimensi-1, ruang dimensi-2, ruang dimensi-n, dan lain sebagainya. Ruang seperti yang disebutkan tadi hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh orang-orang dewasa atau orang yang sudah terdidik dan tidak dapat dipahami oleh anak-anak. Mengapa? Karena untuk memahaminya sudah tidak menggunakan intuisi lagi, melainkan  sudah menggunakan bentuk formal atau aksiomatik. Artinya, kita dapat memahami ruang dimensi-1 karena kita mempunyai ruang dimensi-2, kita dapat memahami ruang dimensi-2 karena kita mempunyai ruang dimensi-3. Bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia matematika akan sangat mudah untuk membuat ruang dimensi-n. Namun bagi orang awam, jangankan mruang dimensi-n, untuk membayangkan ruang dimensi-4 pun akan mengalami kesulitan atau bahkan tidak mampu untuk membayangkannya. Maka jika kita ekstensikan lagi menggunakan bahasa analog, kita memiliki ruang lain. Apa saja? Ruangnya kaum kapitalis, ruangnya sang power know. Itulah pentingnya kita bersopansantun terhadap ruang dan waktu. Itulah sebabnya, orang yang berilmu adalah orang yang sopan dan santun terhadap ilmu. Orang yang berilmu dalam pendidikan matematika adalah orang yang sopan dan santun terhadap apa yang ada dan mungkin ada dalam pendidikan matematika. Santun itu artinya mengerti. Tak hanya mengerti, tetapi juga menghayati kemudian mengamalkan serta mengimplementasikan dan merefleksikan. Jika kita bersopasantun terhadap ruang dan waktu maka kita berhadapan dengan sistem. Sistem kita adalah menempatkan spiritual di tempat yang paling atas. Tidak satupun unsur di dalam dunia ini yang terbebas dari unsur spiritual. Itulah pendirian kita sebagai orang Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan menjunjung tinggi ketuhanan Yang Maha Esa. Jelas hal ini tidak dapat terbantahkan. Namun di sisi lain, terdapat gejolak dari dunia ini, yakni sang power know. Sang power know memiliki empat ujung tombak, yakni kapitalism yang segala sesuatunya diukur dari laju perubahan ekonomi, pragmatism, hedonism dan utilitarian. Kapitalism berpandangan bahwa segala sesuatunya diukur dari laju perubahan ekonomi. Bahagia tidak bahagia itu diukur dari berhasil tidaknya ekonomi. Utilitarian berpandangan bahwa segala sesuatu diukur dari segi manfaat. Misalnya suatu negara menyerang negara lain, jika itu bermanfaat bagi negara penyerang, maka perang itu dilakukan. Sayangnya, klaim itu hanya dilihat dari sisi negara penyerang saja tanpa memposisikan diri melihat kebermanfaatan sebagai negara yang diserang. Pragmatism menghasilkan budaya serba cepat, praktis, tidak bertele-tele, anti-filsafat, dan sebagainya. Sedangkan pada hedonism, orang-orang hanya mengejar rasa senang dan kenikmatan saja tanpa memperhatikan norma-norma agama.

No comments:

Post a Comment